Saya lahir di
Jakarta, lalu sebelum masuk TK saya pernah tinggal di Bangka Belitung. Saya
tidak pernah ingat bagaimana saya, ayah, dan ibu berangkat ke Bangka Belitung.
Saya cuman ingat beberapa hal ketika
saya tinggal di sana dan perjalanan ketika saya kembali ke Jakarta.
Bangka Belitung itu tempat yang orang-orangnya
beragam. Mungkin karena terletak di jalur perdagangan masa Nusantara. Ada orang
Arab, Cina, Melayu, dan Jawa. Di tempat tinggal saya dulu, di Sungai Liat saya
punya ibu kontrakan yang saya panggil Mbok De Pon. Dia itu perempuan paruh baya
berbadan gemuk, berkulit agak gelap dan rambutnya suka diikat konde. Dalam
ingatan saya Mbok De Pon suka pakai rok di bawah lutut, dan pakai kaos berkerah.
Yah, seperti itulah pokoknya. Mbok De
Pon punya cucu perempuan, waktu itu masih kelas 6 SD, namanya Kak Rita. Terus, saya punya guru ngaji orang Arab
asli namanya Bu Luli. Suami Bu Luli dekat dengan ayah karena suaminya jualan
karpet dan ayah saya suka beli karpet. Dulu kata ibu, Bu Luli suka jengkel
karena saya saking bebalnya buat diajari ngaji. Disuruh menunjuk huruf malah
menunjuk ke bingkai halaman turutan.
Didekat
kontrakan kami yang merupakan rumah Mbok De Pon itu, ada orang Cina, ibu
memanggilnya Yu Nur. Saya pikir dipanggil Yu kependekan dari Mbak Yu, ternyata
kependekan dari Ayu. Saya pikir orang Cina itu sukanya jualan, tapi kata ibu
dia nggak jualan apa-apa tuh. Yu Nur punya anak yang namanya Lia, saya nggak
tahu berapa umurnya saat itu. Tapi yang masih ada di ingatan saya, Lia iu ya
anak kecil Cina, agak gendut dengan pipi tembem, rambut diikat kuda dengan poni
depan rata, anting emas putih yang agak panjang, terus pake dress merah selutut
tanpa lengan dengan gambar gajah di dada.
Sebenarnya ada lagi kawan saya orang Bangka asli,
tapi saya lupa namanya dan ketika tanya ke ibu, “Mama nggak ingat semua nama
temanmu waktu itu,” begitu deh katanya. Jadi saya ceritakan kawan saya
yang saya sendiri lupa siapa namanya. Mungkin sebut saja namanya Mira. Jadi, Kak
Mira itu punya rumah panggung dan ketika natal, di dalam rumah panggungnya itu
ada pohon natal yang dihiasi lampu kelap-kelip. Rumah panggung yang indah
ditambah pohon natal rasanya makin indah.
Jadi
keberagaman orang di lingkungan saya dulu ya seperti itu. Nah yang unik adalah
ketika ada satu perayaan yang lain pasti ikut nimbrung. Misalnya pas lebaran. Lia
dan Ibunya pasti ikut berkunjung ke tetangga dan mengucapkan selamat lebaran.
Terus pas Natal saya, Kak Rita, Mbok De Pon dan Ibu saya juga ikutan berkunjung
ke tempat Lia dan Ibunya, serta ke rumah Kak Mira untuk mengucapkan selamat Natal.
Pas Imlek atau Cap Gomeh juga kami diajak ke klenteng karena di depan klenteng
ada pertunjukan barongsai. Saya masih ingat Lia dengan penampakannya yang sudah
saya sebutkan tadi ngasih saya amplop merah buat dimasukkan ke mulut barongsai.
Kami memang tidak mengikuti peribadatannya, tapi kami ikut merasakan
kemeriahannya. Beragam itu asik dan menyenangkan kalau kita saling menghargai
dan memegang prinsip, “Kamu senang, saya ikut senang”.
Berhubunga ingatan
saya yang terbatas karena saat itu saya masih kecil, jadi cerita saya cuma sedikit.
Ketika menulis ini saya juga tanya ini-itu ke ibu saya. Cerita ini pernah saya
tulis ketika ada tugas di mata kuliah PAI Pak Ajat. Tapi Irfah bilang kalau
umat muslim nggak boleh ngucapin selamat ketika ada perayaan agama lain. Saya
nggak sepakat. Saya lebih suka etika hidup yang diajarkan Konfusius soal
ketulusan dan keharmonisan dalam relasi manusia. Oh ya, berhubung hari ini Natal, jadi Selamat
Natal semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar