Selasa, 25 Desember 2012

Kamu Senang, Saya Nimbrung


Saya lahir di Jakarta, lalu sebelum masuk TK saya pernah tinggal di Bangka Belitung. Saya tidak pernah ingat bagaimana saya, ayah, dan ibu berangkat ke Bangka Belitung. Saya cuman ingat beberapa hal  ketika saya tinggal di sana dan perjalanan ketika saya kembali ke Jakarta.

Bangka Belitung itu tempat yang orang-orangnya beragam. Mungkin karena terletak di jalur perdagangan masa Nusantara. Ada orang Arab, Cina, Melayu, dan Jawa. Di tempat tinggal saya dulu, di Sungai Liat saya punya ibu kontrakan yang saya panggil Mbok De Pon. Dia itu perempuan paruh baya berbadan gemuk, berkulit agak gelap dan rambutnya suka diikat konde. Dalam ingatan saya Mbok De Pon suka pakai rok di bawah lutut, dan pakai kaos berkerah. Yah, seperti itulah pokoknya.  Mbok De Pon punya cucu perempuan, waktu itu masih kelas 6 SD, namanya  Kak Rita. Terus, saya punya guru ngaji orang Arab asli namanya Bu Luli. Suami Bu Luli dekat dengan ayah karena suaminya jualan karpet dan ayah saya suka beli karpet. Dulu kata ibu, Bu Luli suka jengkel karena saya saking bebalnya buat diajari ngaji. Disuruh menunjuk huruf malah menunjuk ke bingkai halaman turutan.

 Didekat kontrakan kami yang merupakan rumah Mbok De Pon itu, ada orang Cina, ibu memanggilnya Yu Nur. Saya pikir dipanggil Yu kependekan dari Mbak Yu, ternyata kependekan dari Ayu. Saya pikir orang Cina itu sukanya jualan, tapi kata ibu dia nggak jualan apa-apa tuh. Yu Nur punya anak yang namanya Lia, saya nggak tahu berapa umurnya saat itu. Tapi yang masih ada di ingatan saya, Lia iu ya anak kecil Cina, agak gendut dengan pipi tembem, rambut diikat kuda dengan poni depan rata, anting emas putih yang agak panjang, terus pake dress merah selutut tanpa lengan dengan gambar gajah di dada.  

Sebenarnya ada lagi kawan saya orang Bangka asli, tapi saya lupa namanya dan ketika tanya ke ibu, “Mama nggak ingat semua nama temanmu waktu itu,” begitu deh katanya. Jadi saya ceritakan kawan saya yang saya sendiri lupa siapa namanya. Mungkin sebut saja namanya Mira. Jadi, Kak Mira itu punya rumah panggung dan ketika natal, di dalam rumah panggungnya itu ada pohon natal yang dihiasi lampu kelap-kelip. Rumah panggung yang indah ditambah pohon natal rasanya makin indah.

Jadi keberagaman orang di lingkungan saya dulu ya seperti itu. Nah yang unik adalah ketika ada satu perayaan yang lain pasti ikut nimbrung. Misalnya pas lebaran. Lia dan Ibunya pasti ikut berkunjung ke tetangga dan mengucapkan selamat lebaran. Terus pas Natal saya, Kak Rita, Mbok De Pon dan Ibu saya juga ikutan berkunjung ke tempat Lia dan Ibunya, serta ke rumah Kak Mira untuk mengucapkan selamat Natal. Pas Imlek atau Cap Gomeh juga kami diajak ke klenteng karena di depan klenteng ada pertunjukan barongsai. Saya masih ingat Lia dengan penampakannya yang sudah saya sebutkan tadi ngasih saya amplop merah buat dimasukkan ke mulut barongsai. Kami memang tidak mengikuti peribadatannya, tapi kami ikut merasakan kemeriahannya. Beragam itu asik dan menyenangkan kalau kita saling menghargai dan memegang prinsip, “Kamu senang, saya ikut senang”.

Berhubunga ingatan saya yang terbatas karena saat itu saya masih kecil, jadi cerita saya cuma sedikit. Ketika menulis ini saya juga tanya ini-itu ke ibu saya. Cerita ini pernah saya tulis ketika ada tugas di mata kuliah PAI Pak Ajat. Tapi Irfah bilang kalau umat muslim nggak boleh ngucapin selamat ketika ada perayaan agama lain. Saya nggak sepakat. Saya lebih suka etika hidup yang diajarkan Konfusius soal ketulusan dan keharmonisan dalam relasi manusia. Oh ya, berhubung hari ini Natal, jadi Selamat Natal semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar