Beberapa waktu
yang lalu saya mengikuti diskusi rutin Gender Institute dengan tema
“Feminisme Liberal”. Feminisme yang percaya bahwa perempuan dapat menaikkan
posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi antara inisiatif
dan prestasi individu. Makanya, mereka memperjuangkan hak perempuan untuk
mendapatkan pendidikan yang setara. Selain di bidang pendidikan, feminisme
liberal memperjuangkan hak perempuan untuk
mendapatkan kelayakan di tempat kerja, hak pilih, juga hak atas tubuhnya.
Saya bukan
seorang feminis, saya hanya sedikit belajar teori feminis dan saya sepakat
kalau laki-laki dan perempuan mampu setara, bukan sama. Setara yang berarti perempuan
memiliki hak untuk mengembangkan potensi diri sebagai perempuan. Ada hal lain
lagi yang saya sepakati dari perjuangan feminisme, yakni hak perempuan atas
tubuhnya. Perempuan berhak mengatur tubuhnya sendiri tanpa ada tekanan dari
pihak lain, misalnya kewajiban untuk menyunat klitoris perempuan di Afrika, RUU
Pornografi yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai kriminal, atau Perda
Syariat yang melarang perempuan duduk ngangkang saat naik motor. Dua hal
terakhir kemudian malah membuat perempuan menjadi kambing hitam saat terjadi
pelecehan. Saya pikir cara berpenampilan merupakan kebebasan dan cara manusia,
baik laki-laki maupun perempuan untuk mengekspresikan
dirinya, jadi kalau ada yang menjadikan penampilan sebagai kambing hitam dari
sebuah tindakan kriminal saya tidak sepakat. Namun, ada juga hal yang tidak
saya sepakati dalam perjuangan feminisme, yakni hak untuk aborsi. Di Amerika
Serikat, hak untuk aborsi diperjuangkan dengan mempertahankan hukum yang
memberikan hak untuk aborsi secara legal (Pasal VII Civil Right Act).