Minggu, 23 November 2014

Suntik Cacar

Pagi itu Dina, memasuki hari pertamanya sebagai siswa kelas II SD. Dina berangkat sekolah lebih awal dan lebih bersemangat. Hari-hari pertama di kelas II SD sangat menyenangkan. Pak Hasan, wali kelas Dina yang baru, sangat lucu. Beliau suka bercerita di depan kelas dan membuat suasana belajar di kelas jadi menyenangkan. Pak Hasan juga suka membuat istilah-istilah lucu, seperti “saipul” kependekan dari “selesai pulang”. Jadi kalau murid-murid sudah selesai mengerjakan soal, maka boleh pulang. Dina sangat menikmati hari-harinya di kelas II SD.
Pada hari Rabu sebelum bel istirahat berbunyi Bu Rima, Kepala Sekolah, datang mengunjungi kelas-kelas. Bu rima memberi tahu kalau besok akan datang petugas kesehatan untuk memberi vaksin cacar. Bu Rima menjelaskan kalau vaksin cacar sangat penting agar kita tetap sehat dan tidak terkena virus cacar. Seluruh kelas jadi ramai mendengar berita itu. Ada yang merasa ngeri karena takut disuntik, ada yang menakut-nakuti temannya, ada juga yang berani dan merasa tidak takut sama sekali.

Sabtu, 22 Maret 2014

Cinta dalam Sangkar

Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan, di balik awan
Membawa angan-anganku jauh meniti buih
Lalu hilang larut di lautan

Setelah selesai mengerjakan buku dan LPJ buku, saya akhirnya bisa pulang kampung dan refreshing, bertemu adik-adik saya yang lucu. Waktu itu, kiranya hari Sabtu, ayah berencana beli durian di Kaligesing, soalnya air liur orang-orang di rumah sudah pada encer ketika mencium bau durian. Ketika ayah mau berangkat, Yusuf, adik saya paling kecil, sudah pulang sekolah. Jadilah adik saya itu diajak jalan-jalan.

Kalau di rumah, saya sering bangun pagi-pagi dan tidur siang. Jadi, ceritanya waktu saya bangun tidur pukul 3 sore, saya tidak mendapati adik saya nangkring di ruang tengah. Biasanya, dia nonton Bima Sakti di ANTV dan ketika saya bangun dia akan merampok laptop agar bisa main game. Atau biasanya juga, dia sudah sepedaan bersama teman-temannya dan akan pulang kalau matahari sudah jalan ke Eropa. Tidak hanya Yusuf, adik saya yang pertama, Dina, juga tidak ada. Barangkali dia main atau les. Ibu saya malah gantian yang tidur siang begitu saya bangun. Rumah sepi seperti goa. Saya pun sedirian sampai akhirnya ayah dan adik pulang membawa apa yang mereka cari. Dan, seekor burung.

Rabu, 20 November 2013

Merenungi 20 November

Waktu saya kelas 3 SD saya pernah merasa sangat malas untuk berangkat sekolah. Berangkat sekolah menjadi semacam mimpi buruk yang hadir tanpa mata perlu terpejam. Ya, saya pernah mengalami masa di mana saya sangat benci berangkat sekolah, perjalanan dari rumah ke sekolah rasanya seperti melewati jembatan Shirotol mustaqim, kepeleset sedikit saja langsung apes yang saya terima. Penyebab dari takutnya saya berangkat ke sekolah karena di sana saya sering mengalami hal buruk, seperti dikatain atau pensil diambil pas jam istirahat. Gara-gara kejahilan teman sekelas saya itu ujung-ujungnya saya jadi kayak kebo yang cuma bisa melongo pas pelajaran karna nggak bisa nulis. Yah, mau gimana lagi? Pensil saya satu-satunya sudah diambil. Lain hari, mengantisipasi itu saya bawa dua pensil, yang satu saya taruh di sela-sela buku, yang lain saya taruh di kotak pensil. Saat jam istirahat berakhir, saya sudah tenang-tenang saja karena yakin trik saya akan berhasil. Namun, rupanya pensil saya dua-duanya diambil juga. Saya pun mewujud kebo lagi, melongo saat pelajaran berlangsung.  Akhirnya, saya tidak pernah lagi meninggalkan pensil saya di kelas dan saya sakuin terus.
Tak hanya itu, saya juga pernah dianggurin oleh teman sekelas. Seharian penuh saya di sekolah tanpa teman yang kemudian membuat saya terlihat seperti alien dari planet zog. Kebetulan dari SD saya sudah punya penyakit mag. Dan penyakit inilah penolong saya, karna seringkali saya jadikan kambing hitam untuk tidak berangkat sekolah. Tak hanya dari teman sekelas, saya juga pernah sebel setengah mati dengan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) saya. Guru PAI saya ini pernah bicara secara frontal di kelas kalau ibu saya sombong. Katanya setiap hari kalau menjemput saya ibu tidak pernah menyapa si ibu guru PAI itu. Saya hanya diam di kelas, bete? Iyalah, jelas. Orang sampai di rumah saya nangis diam-diam di ruang tengah sambil nyetel TV keras-keras supaya ibu di dapur tidak mendengar suara saya mewek. Saking sebelnya saya tulis di buku mapelnya PAI dengan huruf P diganti T. Sampai sekarang, saya nggak ada suka-sukanya sama pelajaran agama.

Selasa, 23 Juli 2013

Hak yang Melanggar Hak

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti diskusi rutin Gender Institute dengan tema “Feminisme Liberal”. Feminisme yang percaya bahwa perempuan dapat menaikkan posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi antara inisiatif dan prestasi individu. Makanya, mereka memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Selain di bidang pendidikan, feminisme liberal memperjuangkan hak perempuan untuk  mendapatkan kelayakan di tempat kerja, hak pilih, juga hak atas tubuhnya.
Saya bukan seorang feminis, saya hanya sedikit belajar teori feminis dan saya sepakat kalau laki-laki dan perempuan mampu setara, bukan sama. Setara yang berarti perempuan memiliki hak untuk mengembangkan potensi diri sebagai perempuan. Ada hal lain lagi yang saya sepakati dari perjuangan feminisme, yakni hak perempuan atas tubuhnya. Perempuan berhak mengatur tubuhnya sendiri tanpa ada tekanan dari pihak lain, misalnya kewajiban untuk menyunat klitoris perempuan di Afrika, RUU Pornografi yang akhirnya menjadikan perempuan sebagai kriminal, atau Perda Syariat yang melarang perempuan duduk ngangkang saat naik motor. Dua hal terakhir kemudian malah membuat perempuan menjadi kambing hitam saat terjadi pelecehan. Saya pikir cara berpenampilan merupakan kebebasan dan cara manusia, baik laki-laki maupun perempuan untuk  mengekspresikan dirinya, jadi kalau ada yang menjadikan penampilan sebagai kambing hitam dari sebuah tindakan kriminal saya tidak sepakat. Namun, ada juga hal yang tidak saya sepakati dalam perjuangan feminisme, yakni hak untuk aborsi. Di Amerika Serikat, hak untuk aborsi diperjuangkan dengan mempertahankan hukum yang memberikan hak untuk aborsi secara legal (Pasal VII Civil Right Act).