Rabu, 20 November 2013

Merenungi 20 November

Waktu saya kelas 3 SD saya pernah merasa sangat malas untuk berangkat sekolah. Berangkat sekolah menjadi semacam mimpi buruk yang hadir tanpa mata perlu terpejam. Ya, saya pernah mengalami masa di mana saya sangat benci berangkat sekolah, perjalanan dari rumah ke sekolah rasanya seperti melewati jembatan Shirotol mustaqim, kepeleset sedikit saja langsung apes yang saya terima. Penyebab dari takutnya saya berangkat ke sekolah karena di sana saya sering mengalami hal buruk, seperti dikatain atau pensil diambil pas jam istirahat. Gara-gara kejahilan teman sekelas saya itu ujung-ujungnya saya jadi kayak kebo yang cuma bisa melongo pas pelajaran karna nggak bisa nulis. Yah, mau gimana lagi? Pensil saya satu-satunya sudah diambil. Lain hari, mengantisipasi itu saya bawa dua pensil, yang satu saya taruh di sela-sela buku, yang lain saya taruh di kotak pensil. Saat jam istirahat berakhir, saya sudah tenang-tenang saja karena yakin trik saya akan berhasil. Namun, rupanya pensil saya dua-duanya diambil juga. Saya pun mewujud kebo lagi, melongo saat pelajaran berlangsung.  Akhirnya, saya tidak pernah lagi meninggalkan pensil saya di kelas dan saya sakuin terus.
Tak hanya itu, saya juga pernah dianggurin oleh teman sekelas. Seharian penuh saya di sekolah tanpa teman yang kemudian membuat saya terlihat seperti alien dari planet zog. Kebetulan dari SD saya sudah punya penyakit mag. Dan penyakit inilah penolong saya, karna seringkali saya jadikan kambing hitam untuk tidak berangkat sekolah. Tak hanya dari teman sekelas, saya juga pernah sebel setengah mati dengan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) saya. Guru PAI saya ini pernah bicara secara frontal di kelas kalau ibu saya sombong. Katanya setiap hari kalau menjemput saya ibu tidak pernah menyapa si ibu guru PAI itu. Saya hanya diam di kelas, bete? Iyalah, jelas. Orang sampai di rumah saya nangis diam-diam di ruang tengah sambil nyetel TV keras-keras supaya ibu di dapur tidak mendengar suara saya mewek. Saking sebelnya saya tulis di buku mapelnya PAI dengan huruf P diganti T. Sampai sekarang, saya nggak ada suka-sukanya sama pelajaran agama.

Sebenarnya, hal-hal yang saya terima di SD dulu itu bisa masuk kategori bullying. Meskipun sekarang saya bisa sedikit menertawakannya, nyatanya dulu kejadian itu membuat saya tertekan. Bullying sendiri berarti tindakan mengintimidasi dan menekan seorang individu atau kelompok yang lebih lemah. Bullying bisa terjadi karena dalam sebuah kelompok pasti ada yang dominan dan yang lemah. Individu-individu yang dominan ini memegang kendali dalam kelompoknya. Sayangnya, si pemegang kendali ini menggunakan dominasinya untuk menggiring para followers dalam kelompok untuk berkawan dengan siapa dan mengintimidasi siapa sehingga bullying pun akhirnya terjadi.
Angka bullying di Indonesia pun tak kunjung reda dan cenderung naik tiap tahunnya. Pada 2010 ada 1.234 pengaduan kekerasan terhadap anak yang tercatat di  Pusat Data dan Informasi, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) kemudian tahun 2011 tercatat ada 2.386 pengaduan.  Sedangkan pada 2012 lalu tercatat ada 2.637 kasus kekerasan anak, tahun 2013 sendiri sampai bulan Juli terdapat 1.032 kasus dengan 121 kasus kekerasan anak di lingkungan sekolah.
Peristiwa bullying yang terjadi di sekolah tentu hal yang sangat ironis karena lingkungan pendidikan, yakni sekolah mestinya membuat peserta didik merasa nyaman dan aman agar mendukung beragam aktivitas di sekolah. Upaya meningkatkan rasa nyaman dan aman pun termasuk melindungi para siswa dari perilaku bullying. Selain sekolah, orang tua tentu memiliki peran penting untuk mencegah bullying dengan memberikan anak kesempatan untuk menceritakan hal-hal yang ia alami temasuk bullying yang ia alami atau bahkan lakukan. Setelah mendengar cerita anaknya orang tua seyogianya tentu perlu untuk memberikan pengarahan kepada anaknya.
Saya belum menjadi orang tua, namun saya rasa hal itu bukanlah hambatan untuk turut serta dalam upaya anti-bullying. Di penghujung hari anak universal ini, mari kita renungkan bersama upaya yang akan kita lakukan untuk mengurangi bullying di sekolah. Saya memulainya untuk orang dua orang adik saya yang masih duduk di bangku SD, Dina dan Yusuf.

Sumber:
http://id.theasianparent.com/si-penindas-di-kelas/

http://www.kpai.go.id


2 komentar:

  1. Adikku laki-laki kelas 1 SMA korban bullying juga. Akhirnya sekarang dia ndak mau sekolah dan memilih untuk mengambil pendidikan di kejar paket jan. Rasanya ingin gampar dan ludahi satu-satu orang yang bullying adikku itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bullying memang mengganggu banget buat pendidikan, Mbak. Sekolah yang harusnya bikin pintar malah jadi kayak neraka. Ayo tulis tentang Bullying juga Mbak :)

      Hapus