Sabtu, 22 Maret 2014

Cinta dalam Sangkar

Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan, di balik awan
Membawa angan-anganku jauh meniti buih
Lalu hilang larut di lautan

Setelah selesai mengerjakan buku dan LPJ buku, saya akhirnya bisa pulang kampung dan refreshing, bertemu adik-adik saya yang lucu. Waktu itu, kiranya hari Sabtu, ayah berencana beli durian di Kaligesing, soalnya air liur orang-orang di rumah sudah pada encer ketika mencium bau durian. Ketika ayah mau berangkat, Yusuf, adik saya paling kecil, sudah pulang sekolah. Jadilah adik saya itu diajak jalan-jalan.

Kalau di rumah, saya sering bangun pagi-pagi dan tidur siang. Jadi, ceritanya waktu saya bangun tidur pukul 3 sore, saya tidak mendapati adik saya nangkring di ruang tengah. Biasanya, dia nonton Bima Sakti di ANTV dan ketika saya bangun dia akan merampok laptop agar bisa main game. Atau biasanya juga, dia sudah sepedaan bersama teman-temannya dan akan pulang kalau matahari sudah jalan ke Eropa. Tidak hanya Yusuf, adik saya yang pertama, Dina, juga tidak ada. Barangkali dia main atau les. Ibu saya malah gantian yang tidur siang begitu saya bangun. Rumah sepi seperti goa. Saya pun sedirian sampai akhirnya ayah dan adik pulang membawa apa yang mereka cari. Dan, seekor burung.


Burung yang dibawa pulang adik saya adalah burung gereja yang dimasukkan dalam sebuah kandang kecil. Kandang itu berbentuk tabung yang terbuat dari kawat dan tripleks. Kasa kawat menjadi dindingnya. Sedang tripleks berbentuk lingkaran yang dicat warna ungu juga hijau menjadi atap dan alas. Burung itu cuma diam, barangkali dia bingung.

Sebenarnya saya nggak heran-heran amat lihat burung dalam sangkar. Waktu saya masih kecil, saya sering digendong mendiang kakek (saya biasa memanggilnya eyang kakung). Bapaknya ayah saya ini, punya beberapa burung. Ada burung beo, burung dara, juga burung kenari. Burung perkutut warna kelabu adalah salah satu burung yang paling sering dikudang. Eyang sering menggendong saya sambil menjentikkan jari-jarinya ke arah burung dan bersiul agar si burung bernyanyi. Trut tut tut tut tut tut… begitulah bunyi si burung. Dalam ingatan saya, burung itu sering berbunyi siang-siang saat cuaca sedang panas ganas-ganasnya. Perpaduan kicauan burung, cuaca panas, bunyi tonggeret, dan lagu keroncong dari radio yang disetel paklik menemani saya dan beberapa sepupu main ayunan yang digantung di pohon nangka di sebelah rumah eyang.

Burung Perkutut tapi dia bukan Tutut. Gambar ini saya ambil dari Google.

Kami semua suka dengan kicauan burung perkutut kakek. Bersama dengan beberapa sepupu, saya pernah menemani eyang membersihkan kandang si perkutut yang sudah penuh dengan feses di sana sini. Kakek sudah menyiapkan sikat, tripleks pengganti alas kandang, dan juga air. Saya yang baru pertama kali memandikan burung sangat bersemangat karena bagi saya, ini kesempatan supaya bisa lebih dekat dan memegang si Tutut (panggilan saya untuk burung perkutut warna kelabu). Saya pun menawarkan diri untuk membuka kandang Tutut dan mencoba menangkapnya. Percobaan pertama gagal. Percobaan kedua gagal. Eyang cuma tertawa. Baru mau mencoba untuk ketiga kali, eyang mencegah saya dan dia melakukannya sendiri. Tutut pun kami mandikan dengan air, kandangnya sudah kami bersihkan dengan sikat dan diganti alasnya. Kini Tutut jadi wangi, segar, dan makin menawan. Pun dengan kandangnya yang tak lagi menjijikkan, semuanya sudah jadi bersih. Waktu mau dikembalikan ke kandang, kandang sulit dibuka dan eh…

Si Tutut pergi. Terbang. Begitu ada kesempatan dia langsung terbang. Ke langit, sampai ke troposfer, stratosfer, atau bahkan sampai 400km di langit sana. Eyang cuma termenung, tenang. Saya perlahan mulai menangis, karna sedih, rasa bersalah, karna tak bisa mendengar suara si Tutut lagi. Sepupu saya yang lain pada melongo, terus pada ribut sendiri-sendiri. Saya masih menangis. Sepupu yang lain menenangkan saya. Eyang sudah takdiam lagi. Eyang menenangkan saya, cucu kecilnya yang nangis gara-gara si Tutut pergi.

Ini ilustrasi "Tutut The Cupu Bird" yang dibuat Tane setelah baca tulisan ini.


Beberapa hari setelah tragedi terbangnya Tutut, eyang sudah mengikhlaskan Tutut. Tapi, berbeda dengan saya. Saya masih berharap Tutut kembali. Entah besok, lusa, tulat, tubin, atau entah kapan. Saya yakin Tutut kembali sebab Tutut sudah ada di rumah eyang sejak lama, sejak saya belum lahir. Tapi sampai saya bosan jadi anak kecil Tutut tak kunjung kembali. Saya pikir dia tersesat karna dia tak pernah terbang. Mungkin ketika dia terbang, karna saking senangnya bisa terbang lagi, dia tak lihat jalan lalu Tutut tabrakan dengan Garuda Indonesia yang badannya jelas lebih besar, lalu dia mati, mayatnya dimakan gagak. Atau dia terbang sebentar lalu jatuh, sayapnya kram karna dia tak pernah terbang. Dan, saya baru menyadari bahwa Tutut tak pernah terbang. Bahkan dia tak terbang lagi dari zaman saya belum lahir. Tutut, burung yang lama tak terbang akhirnya terbang, kabur tepatnya.

Dari kaburnya Tutut itu, saya malah merasa kasihan dengan burung. Mereka indah, bersuara merdu, tapi dipenjara seperti napi. Mengurung burung dalam kandang sama saja memenjarakan mereka dari kebebasan untuk terbang. Saya jadi mikir, sebenarnya burung dan manusia sulit berjodoh. Bayangkan saja, cara hidup manusia dan burung itu beda. Burung punya sayap dan memang harusnya terbang. Sedangkan manusia tak bisa terbang tanpa teknologi. Saya kira rasa cinta yang mendalam dan keinginan manusia untuk terus bersama burung kesayangannya malah menyakiti si burung. Menaruh burung dalam sangkar bagi saya adalah representasi rasa cinta yang keliru.

Cinta membuat kakek mengurung si Tutut dalam kandang yang kecil hingga dia tak bisa terbang bebas dan bergaul bersama burung-burung lain. Tutut jadi burung yang cupu, kesepian, sendirian, nggak gaul, dan nggak punya pacar untuk disayang-sayang seperti burung yang bebas terbang di alam sana.

Saya tak ingin adik saya punya rasa cinta yang menyakiti makhluk lain. Setelah dihasut, adik saya merelakan si burung gereja dibebaskan dari penjara kecilnya. Paku pada atap kandang saya buka, adik saya membuka tripleksnya di teras rumah dan berlari ke ambang pintu meninggalkan burung dan kadangnya yang sudah terbuka. Dari ambang pintu kami bertiga mengamati si burung gereja. Sejenak, si burung diam lalu terbang ke dahan pohon mangga, kemudian terbang makin tinggi seperti burung camar yang ada di lagunya Vinna Panduwinata.

Burung camar, tinggi melayang

Bersahutan, di balik awan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar