Teh hangat,
leker coklat, nasi putih, dan ikan gurameh kuah kuning semuanya pasti
dihidangkan oleh Ibu waktu saya tiba di rumah selepas perjalanan 2 jam dari Jogja
dengan kendaraan bermotor. Bukan hanya makanan, teriakan dan pelukan adik-adik
saya yang masih SD pun membuat saya sangat menikmati momen ini. Pulang kampung,
kembali ke rumah. Saya pernah berpikir, selepas SMA saya tidak akan pernah lagi
benar-benar tinggal di rumah. Rumah hanya akan menjadi tempat singgah dan
hiburan di tengah kesibukan kuliah.
Makanya, saya
berusaha untuk pulang kampung seminggu sekali. Selagi masih kuliah dan mungkin
tak sesibuk nanti ketika saya sudah bekerja. Namun, kadang tugas kuliah yang
menumpuk dan kegiatan UKM yang padat membuat saya urung untuk pulang kampung. Kadang
saya merasa orang yang pulang kampung itu tidak ditolerir oleh kawan-kawan dan akan
dicemooh, dibilang manja, dibanding-bandingkan dengan kawan lain lebih jarang
pulang kampung atau lain sebagainya. Hal itu yang bikin saya sering pulang kampung
tanpa pamit kepada kawan-kawan saya di UKM karena kalau izin pasti akan dicegah.
Padahal, frekuensi pulang kampung tidak bisa disamakan. Itu semua tergantung
jaraknya. Semakin dekat jarak perantauan dari rumah maka akan makin sering
diminta pulang oleh orang tua. Misalnya jika kita menganggap orang yang tinggal
bersama orang tuanya itu merantau dan pulang kerumah adalah pulang kampung,
maka kawan saya yang tinggal di Jogja dengan orang tuanya, kalau pulang
terlambat pasti akan ditanya dan disuruh pulang. Sedangkan, anak perantauan
yang rumahnya jauh di ujung Merauke atau di Sabang sana pasti akan lebih
ditolerir jika tidak pulang kampung untuk waktu yang lama, misalnya satu semester
atau bahkan satu tahun karena jaraknya memang jauh.
Jika pulang kampung
yang saya lakukan didebat dengan alasan manja, saya pikir pulang kampung adalah
sebuah kewajiban anak ke orang tua
sebagai tanda bakti. Itu salah satu bukti kalau anak masih mengingat dan menganggap
keberadaan orang tuanya bukan sekedar meminta uang jajan. Biasanya kawan-kawan
saya di UKM malah membolehkan kawannya pulang ketika uang jajannya habis karena
itu dianggap hal mendesak. Saya pikir itu seperti menjahati orang tua. Orang
tua jadi seperti bank yang didatangi ketika kita ingin mengambil uang.
Entah sejak
kapan saya merasa kalau kawan-kawan saya di UKM tidak bisa menolerir alasan
pulang kampung. Tapi bagi saya itu kewajiban, seperti kewajiban saya di UKM
Persma UNY itu. Karena keduanya adalah kewajiban, jadi saya harus pintar
membagi waktu dan bernegosiasi masalah waktu dengan mereka. Usaha membagi waktu
dan negosiasi tidak akan mempan kalau kawan-kawan yang lain tidak bisa
menolerir saya untuk pulang kampung. Semoga saja dengan tulisan ini kawan-kawan
saya yang sering menggugat kawannnya yang akan melaksanakan ibadah pulang kampung
manjadi lebih toleran. Kalau teman senang seharusnya kita ikut senang dong!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar