Kamis, 14 Maret 2013

Ada yang Menunggu di Rumah, Lho!


Teh hangat, leker coklat, nasi putih, dan ikan gurameh kuah kuning semuanya pasti dihidangkan oleh Ibu waktu saya tiba di rumah selepas perjalanan 2 jam dari Jogja dengan kendaraan bermotor. Bukan hanya makanan, teriakan dan pelukan adik-adik saya yang masih SD pun membuat saya sangat menikmati momen ini. Pulang kampung, kembali ke rumah. Saya pernah berpikir, selepas SMA saya tidak akan pernah lagi benar-benar tinggal di rumah. Rumah hanya akan menjadi tempat singgah dan hiburan di tengah kesibukan kuliah.
Makanya, saya berusaha untuk pulang kampung seminggu sekali. Selagi masih kuliah dan mungkin tak sesibuk nanti ketika saya sudah bekerja. Namun, kadang tugas kuliah yang menumpuk dan kegiatan UKM yang padat membuat saya urung untuk pulang kampung. Kadang saya merasa orang yang pulang kampung itu tidak ditolerir oleh kawan-kawan dan akan dicemooh, dibilang manja, dibanding-bandingkan dengan kawan lain lebih jarang pulang kampung atau lain sebagainya. Hal itu yang bikin saya sering pulang kampung tanpa pamit kepada kawan-kawan saya di UKM karena kalau izin pasti akan dicegah. Padahal, frekuensi pulang kampung tidak bisa disamakan. Itu semua tergantung jaraknya. Semakin dekat jarak perantauan dari rumah maka akan makin sering diminta pulang oleh orang tua. Misalnya jika kita menganggap orang yang tinggal bersama orang tuanya itu merantau dan pulang kerumah adalah pulang kampung, maka kawan saya yang tinggal di Jogja dengan orang tuanya, kalau pulang terlambat pasti akan ditanya dan disuruh pulang. Sedangkan, anak perantauan yang rumahnya jauh di ujung Merauke atau di Sabang sana pasti akan lebih ditolerir jika tidak pulang kampung untuk waktu yang lama, misalnya satu semester atau bahkan satu tahun karena jaraknya memang jauh.
Jika pulang kampung yang saya lakukan didebat dengan alasan manja, saya pikir pulang kampung adalah sebuah kewajiban anak ke orang  tua sebagai tanda bakti. Itu salah satu bukti kalau anak masih mengingat dan menganggap keberadaan orang tuanya bukan sekedar meminta uang jajan. Biasanya kawan-kawan saya di UKM malah membolehkan kawannya pulang ketika uang jajannya habis karena itu dianggap hal mendesak. Saya pikir itu seperti menjahati orang tua. Orang tua jadi seperti bank yang didatangi ketika kita ingin mengambil uang.
Entah sejak kapan saya merasa kalau kawan-kawan saya di UKM tidak bisa menolerir alasan pulang kampung. Tapi bagi saya itu kewajiban, seperti kewajiban saya di UKM Persma UNY itu. Karena keduanya adalah kewajiban, jadi saya harus pintar membagi waktu dan bernegosiasi masalah waktu dengan mereka. Usaha membagi waktu dan negosiasi tidak akan mempan kalau kawan-kawan yang lain tidak bisa menolerir saya untuk pulang kampung. Semoga saja dengan tulisan ini kawan-kawan saya yang sering menggugat kawannnya yang akan melaksanakan ibadah pulang kampung manjadi lebih toleran. Kalau teman senang seharusnya kita ikut senang dong!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar