Ini cerita 12 tahun
yang lalu. Waktu itu umur saya masih enam tahun dan saya duduk di kelas 1 SDN
01 Pagi Cengkareng. Saya lupa waktu itu
bulan apa. Mungkin, karena saya belum benar-benar mengrti apa fungsi
penanggalan. Yang jelas, siang itu di sekolah panas sekali. Di siang yang panas
itu, saya duduk sendiri di kursi teras kelas sambil makan roti sarang burung
(sekarang sari roti) rasa srikaya. Dengan tampang tanpa dosa seperti di foto
profil FB saya, saya menunggu jemputan dari ayah saya, sang pengendara vespa.
Jemputan tak kunjung datang, saya cuma makan roti sambil
melototin anak-anak kelas 6 yang sedang antre fotokopi di koperasi sekolah di
seberang lapangan. Bel tanda usai istirahat berbunyi, sekarang sekolah terasa
sepi. Di tengah suasana sepi dan rasa bosan yang melanda saya itulah, hal yang
saya nggak pernah lupa sampai saya sudah gede dan jadi kurang ajar begini.
Tiba-tiba saya mendengar suara tangisan. Eit! Ini bukan
cerita hantu kok. Suara tangisan itu dari anak laki-laki berbadan gemuk. Dia nangis
sambil megangin celana merahnya di depan kamar mandi sekolah diiringi rengekan,
“Mama, nggak bisa cebok, hu… hu… hu…”
Saya nggak tau emak anak itu di mana. Sepertinya anak itu
bernasib seperti saya, telat dijemput. Cuma, keadaannya lebih parah dan ambyar.
Saya dengan rapih dan imut khas anak enam tahun sedang duduk manis di teras
kelas sambil makan roti yang enak dan empuk. Sedangkan anak itu, dari tadi dia
jongkok di WC rupanya, sambil nunggu ada orang atau wali kelasnya yang nyadar
kalau dia nggak ada. Mungkin karna dia sudah kesemutan jongkok berlama-lama di
WC akhirnya dia nekat memutuskan untuk keluar dari WC dengan keadaan ambyar
seperti itu. Badan keringetan, nangis bercucuran air mata sambil ngeluarin
ingus. Pokoknya, apa pun cairan yang bisa keluar dari mukanya dia keluarin
semua.
Satu hal yang bikin saya sebal ketika itu. Benda benyek berwarna
kuning-kecoklatan di pantatnya itu lho, yang membuat saya berhenti menikmati
roti dan memutuskan untuk menyimpannya dulu. Terus, wali kelas saya, Bu Kokom
datang menghampiri anak itu. Saya nggak tau kelanjutan nasib anak itu karena
ayah saya sudah datang. Mungkin Bu Kokom, wali kelas saya yang baik itu mau
menceboki anak bernasib sial itu. Atau mungkin karna saking njijikine, Bu Kokom
menelepon emak anak itu untuk menjemput sekaligus mencebokinya. Entahlah, mungkin
hanya Bu Kokom, tuhan, emak anak itu, dan anak benyek kuning-kecoklatan itu
yang tahu.
Siangnya, saya main bersama tetangga saya yang dulunya satu
TK dengan saya, tapi tidak satu SD, namanya Novi. Berhubung Novi orang betawi,
jadi saya manggilnya Nopi. Saya ceritakan ke Nopi kalau tadi di sekolah ada
kejadian yang amit-amit untuk dialami. Yah, karena saya malas ngetik ulang yah,
seperti itulah. Nopi ketawa mendengar cerita itu. Lalu, karena ketawa kami
terlalu keras, ibu saya bilang, “Kalian ketawa-ketawa ada PR nggak?” Saya jadi
ingat saya punya PR bahasa Indonesia. Kemudian ada sebuah cerita tentang
seorang raksasa bernama Kebo Iwa. Saya disuruh mengisi titik-titik di soal. Karena
atmosfir belajar tidak ada sama sekali dan yang ada hanya atmosfir bercanda,
akhirnya saya dan Nopi malah mengarang-ngarang cerita. “Kebo Iwa berak di
celana, ahahahahahhaha.” Entah kenapa bercandaan itu sangat lucu ketika itu. Ibu
saya juga malah ikut tertawa.
Setelah saya cari cerita tentang Kebo Iwa, ternyata itu
adalah cerita rakyat Bali.
Sebagai anak kecil kamu sudah jahat. hahahaha.
BalasHapusAku kan cuma makan roti mas. Dan makan roti bukan kejahatan, kecuali kamu sedang diet. ha ha ha
Hapus