Jumat, 16 November 2012

Masukin Aku ke Koran Dong...


Ketika KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pertama, saya berkunjung ke Candi Brahu. Di sana, yah seperti candi pada umumnya. Sebenarnya saya tidak ingin menceritakan tentang Candi Brahu di sini, karena terlalu membosankan. Jadi, saya ceritakan saja kejadian di Candi Brahu.

Cerita ini bermula ketika kawan saya, Umar berbicara kepada seorang bocah yang usianya kira-kira 10 tahun. Anak itu merupakan bagian dari rombongan TPQ yang saya juga tidak tahu namanya. “Dek, naik ke atas sana! Liatin, di atas ada cekungan nggak,” kata Umar dengan bahasa Indonesianya yang bercampur dengan logat ngapaknya dari Purwokerto. Sebagai mahasiswa yang baik dan budiman, serta patuh pada aturan yang ada, ketika mengatahui hai itu saya pun mencegah anak itu naik ke atas candi karena memang ada larangan untuk naik. Berhubung pesona saya yang memang memancar ke mana-mana, ketika saya mengingatkan anak-anak itu pun kawan saya yang lain ikut-ikutan mengingatkan mereka tidak untuk naik ke atas candi.


Setelahnya, kawan-kawan saya, para mahasiswa tua yang memang sudah siap nikah dan punya anak berfoto dengan rombongan dari TPQ itu. Mereka kegirangan melihat lautan boncel-boncel setinggi pinggang mereka berkerumun dan mengabadikan momen bersama mereka. Setelah mengambil gambar, tiba-tiba ada anak perempuan kecil mendekati saya. Namanya Hanifah, dia duduk di kelas 3 SD. “Mbak, Mbak, fotonya masukin koran, ya,” katanya polos. Saya pun bingung mau jawab apa. Jawab “iya”, berarti saya bohong. Jawab “nggak mungkin” kok ya mengecewakan banget ya. “Kamu belajar ngaji yang pintar aja, nanti pasti bisa masuk koran,” jawab saya seadanya sambil cengar-cengir.

anak kecil berkerudung abu-abu, yang jongkok di deretan depan keempat dari kiri dengan kedua tangan membentuk huruf V itu yang namanya Hanifah. Foto ini saya minta dari Alif.


Setelah mangambil gambar Candi Brahu dari beberapa sudut, saya pun berjalan menuju ke bis. Eh, di depan pintu masuk yang juga merupakan pintu keluar candi, Dek Hanifah yang tadi minta fotonya dimasukin ke koran mengucapkan permohonannya sekali lagi, seolah-olah saya ini jin di iklan Djarum 76. “Mbak, fotonya masukin koran, ya,” katanya sambil menghentikan langkah saya. Karena anak ini sepertinya belum mengerti yang saya ucapkan tadi, saya pun menjelaskan sesederhana mungkin. “Dek, Mbak itu bukan jurnalis. Jadi, fotonya cuman bisa dicetak. Mbak ndak punya kuasa untuk masukin sembarang foto ke koran. Kamu ngaji yang pinter aja, nanti mungkin kamu bisa masuk koran,” kata saya. Saya nggak mungkin dong menjelaskan ke anak itu syarat sebuah berita bisa lolos dari redaktur pelaksana. Bisa panjang urusannya nanti. Di akhir pertemuan dengan bocah itu, saya menyalaminya dengan salaman gaul seperti ke kawan-kawan saya. Tapi ya, karna Dek Hanifah itu anak yang alim dan baik, tangan saya dicium sama dia, he he he. Berasa tua dan dihormati deh. Aku jadi malu.

Tapi, dari perkaatan Hanifah tadi, saya jadi berpikir kalau pemikiran mereka itu khas anak kecil sekali. Sederhana. Adik saya, Dina yang kini berusia 10 tahun juga pernah bilang ke saya kalau, dia masuk televisi. Ketika saya tanya kenapa, dia bilang, “Tadi direkam Mbak, coba kalau tivi kita itu lengkap chanelnya, pasti Mbak bisa lihat aku.” Ketika saya tanya lebih lanjut, di stasiun televisi mana tepatnya gambar dia disiarkan, Dina malah jawab tidak tahu. Haduh, adik saya ini. Jadi, sebenarnya dia itu direkam menggunakan kamera video shooting, lalu mentang-mentang direkam menggunakan kamera video shooting adik saya berpikir dia akan masuk televisi.

 Yah, begitu juga mungkin dengan pemikiran Hanifah beserta teman-temannya. Ketika dipotret, Andika, kawan sekelas saya menggunakan kamera digital SLR. Mungkin, karena hal inilah mereka berpikir kalau mereka bisa masuk koran. Atau spekulasi saya lainnya, karena mereka berpikir kami mahasiswa, dan dari Jogja. Mereka berpikir kalau mahasiswa punya kuasa. Kuasa apapun. Termasuk untuk memasukkan foto sejumlah anak dengan beberapa mahasiswa ke koran.

Di sisi lain, saya jadi ingat kakak-kakak seperguruan saya yang suka membicarakan tentang kaya dan terkenal. Di sini, Hanifah dan kawan-kawannya ingin terkenal. Mereka ingin masuk koran. Ingin masuk media massa. Mungkin kenapa mereka tidak memilih untuk kaya, karena mereka belum berpikir susahnya nyari uang. Dan hidup itu butuh uang. Tapi itu cuman spekulasi saya sendiri. Jangan dipercaya.

Pengaharapan Hanifah kepada saya untuk memajang fotonya di koran membuat saya merasa terpacu untuk terus berusaha. Berusaha menggapai cita-cita saya menjadi juranalis tentunya. Supaya saya bisa membidik gambar-gambar unik yang bisa dimasukkan ke rubrik potret atau foto pekan ini. Atau saya bisa menuliskan cerita tentang Hanifah-Hanifah lain di luar sana.

Berhubung saya belum menjadi jurnalis seutuhnya, jadi saya hanya bisa memasukkan foto Hanifah dan kawan-kawannya dalam blog saya. Sayangnya, saya nggak sempat foto sama Hanifah.

Oh,ya. Ketika menulis ini saya jadi ingat blog tetangga yang nulis tentang keinginan masuk media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar