Saya sedang berkendara menggunakan
sepeda motor yang diberikan oleh ayah saya. Bukan perjalanan yang jauh, hanya
perjalanan dari kosan saya di samirono menuju kampus saya di Fakultas Ilmu
Sosial. Mungkin belum sampai setengah
perjalanan, setelah menyeberang jalan, di perempatan lapangan futsal, saya
mengamati sesuatu yang bagi saya menyentuh. Kalian pasti tahu trotoar di daerah stadion
FIK hanya ada di sebelah timur. Bukan, saya bukan hendak membincang tentang
trotoar tapi membincang apa yang terjadi di trotoar.
Di trotoar yang sempit itu, ada penjual
beras kencur yang saya pikir nasibnya tidak masuk dalam ketegori kasihan bagi saya,
dan ada penjual-penjual lain yang belum cukup menyentuh. Yang menarik bagi saya
adalah kehadiran anak kecil yang mungkin usia 5 tahun ke atas. Anak kecil itu
hanya mengenakan kaos singlet, bercelana biru, dan menggendong sebuah tas. Saya
lupa anak laki-laki itu bersepatu atau tidak. Saya melihatnya seperti seorang
murid TK namun berada tidak pada waktu dan tempat yang tepat.
Pada pukul 9 siang, ketika saya
ingin berangkat kuliah, anak itu sedang berada di sana, bersama seorang lelaki
tua pembawa gerobak. Mungkin lelaki itu kakeknya atau mungkin ayahnya. Saya kira si lelaki tua adalah tukang rongsok yang kariernya tidak sukses. Mereka terlihat
berdua. Kali lain, saya melihat mereka selepas saya pulang dari kegiatan UKM di
tengah malam. Lelaki tua itu tidur di trotoar beralas kardus yang ia bawa dalam
gerobaknya, sedangkan anak kecil tadi tidur dalam gerobak dan berselimut kardus
serta kertas-kertas. Suatu waktu mereka tak ada, pergi, mungkin mencari suasana
baru untuk malam mereka, atau mungkin mereka pulang ke rumahnya yang entah
berada di mana.
Saya sempat berpikir mereka tak
punya rumah, mungkin semacam gelandangan karena beberapa kali saya jumpai
mereka sedang tidur di rumah yang sangat luas, bumi ini, ya langit atapnya dan
tanah lantainya. Di samping menyimpulkan sendiri kalau mereka adalah
gelandangan, saya juga berpikir, bagaimana cara mereka bertahan hidup? Entahlah,
tapi nyatanya sampai kemarin sabtu saya masih mendapati mereka di sana dalam keadaan bernyawa.
Saya merasa iba dengan mereka. Tapi
kemudian saya juga berpikir, bagaimana saya bisa merasa iba? Apakah karena saya
merasa punya daya lebih dari mereka? Apakah benar saya punya daya lebih? Daya seperti
apa yang membuat saya berani merasa iba? Apa ini semata karena kemampuan finansial? Entahlah,
saya masih merasa bingung, dan mungkin tulisan ini berakhir di sini karena saya
tak tahu lagi akan menulis apa.
Salam
NJ
Salam
NJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar