Selasa, 14 Mei 2013

Daya dan Iba


Saya sedang berkendara menggunakan sepeda motor yang diberikan oleh ayah saya. Bukan perjalanan yang jauh, hanya perjalanan dari kosan saya di samirono menuju kampus saya di Fakultas Ilmu Sosial.  Mungkin belum sampai setengah perjalanan, setelah menyeberang jalan, di perempatan lapangan futsal, saya mengamati sesuatu yang bagi saya menyentuh.  Kalian pasti tahu trotoar di daerah stadion FIK hanya ada di sebelah timur. Bukan, saya bukan hendak membincang tentang trotoar tapi membincang apa yang terjadi di trotoar.
Di trotoar yang sempit itu, ada penjual beras kencur yang saya pikir nasibnya tidak masuk dalam ketegori kasihan bagi saya, dan ada penjual-penjual lain yang belum cukup menyentuh. Yang menarik bagi saya adalah kehadiran anak kecil yang mungkin usia 5 tahun ke atas. Anak kecil itu hanya mengenakan kaos singlet, bercelana biru, dan menggendong sebuah tas. Saya lupa anak laki-laki itu bersepatu atau tidak. Saya melihatnya seperti seorang murid TK namun berada tidak pada waktu dan tempat yang tepat.
Pada pukul 9 siang, ketika saya ingin berangkat kuliah, anak itu sedang berada di sana, bersama seorang lelaki tua pembawa gerobak. Mungkin lelaki itu kakeknya atau mungkin ayahnya. Saya kira si lelaki tua adalah tukang rongsok yang kariernya tidak sukses. Mereka terlihat berdua. Kali lain, saya melihat mereka selepas saya pulang dari kegiatan UKM di tengah malam. Lelaki tua itu tidur di trotoar beralas kardus yang ia bawa dalam gerobaknya, sedangkan anak kecil tadi tidur dalam gerobak dan berselimut kardus serta kertas-kertas. Suatu waktu mereka tak ada, pergi, mungkin mencari suasana baru untuk malam mereka, atau mungkin mereka pulang ke rumahnya yang entah berada di mana.
Saya sempat berpikir mereka tak punya rumah, mungkin semacam gelandangan karena beberapa kali saya jumpai mereka sedang tidur di rumah yang sangat luas, bumi ini, ya langit atapnya dan tanah lantainya. Di samping menyimpulkan sendiri kalau mereka adalah gelandangan, saya juga berpikir, bagaimana cara mereka bertahan hidup? Entahlah, tapi nyatanya sampai kemarin sabtu saya masih mendapati mereka di sana dalam keadaan bernyawa.
Saya merasa iba dengan mereka. Tapi kemudian saya juga berpikir, bagaimana saya bisa merasa iba? Apakah karena saya merasa punya daya lebih dari mereka? Apakah benar saya punya daya lebih? Daya seperti apa yang membuat saya berani merasa iba? Apa ini semata karena kemampuan finansial? Entahlah, saya masih merasa bingung, dan mungkin tulisan ini berakhir di sini karena saya tak tahu lagi akan menulis apa.

Salam
NJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar