Ketika KKL (Kuliah Kerja Lapangan) pertama, saya berkunjung
ke Candi Brahu. Di sana, yah seperti candi pada umumnya. Sebenarnya saya tidak
ingin menceritakan tentang Candi Brahu di sini, karena terlalu membosankan. Jadi,
saya ceritakan saja kejadian di Candi Brahu.
Cerita ini bermula ketika kawan saya, Umar berbicara kepada
seorang bocah yang usianya kira-kira 10 tahun. Anak itu merupakan bagian dari
rombongan TPQ yang saya juga tidak tahu namanya. “Dek, naik ke atas sana!
Liatin, di atas ada cekungan nggak,” kata Umar dengan bahasa Indonesianya yang
bercampur dengan logat ngapaknya dari Purwokerto. Sebagai mahasiswa yang baik
dan budiman, serta patuh pada aturan yang ada, ketika mengatahui hai itu saya pun
mencegah anak itu naik ke atas candi karena memang ada
larangan untuk naik. Berhubung pesona saya yang memang memancar ke mana-mana,
ketika saya mengingatkan anak-anak itu pun kawan saya yang lain ikut-ikutan
mengingatkan mereka tidak untuk naik ke atas candi.
Setelahnya, kawan-kawan saya, para mahasiswa tua yang memang sudah siap nikah
dan punya anak berfoto dengan rombongan dari TPQ itu. Mereka kegirangan melihat
lautan boncel-boncel setinggi pinggang mereka berkerumun dan mengabadikan momen
bersama mereka. Setelah mengambil gambar, tiba-tiba ada anak perempuan kecil
mendekati saya. Namanya Hanifah, dia duduk di kelas 3 SD. “Mbak, Mbak, fotonya
masukin koran, ya,” katanya polos. Saya pun bingung mau jawab apa. Jawab “iya”,
berarti saya bohong. Jawab “nggak mungkin” kok ya mengecewakan banget ya. “Kamu
belajar ngaji yang pintar aja, nanti pasti bisa masuk koran,” jawab saya
seadanya sambil cengar-cengir.
![]() |
anak kecil berkerudung abu-abu, yang jongkok di deretan depan keempat dari kiri dengan kedua tangan membentuk huruf V itu yang namanya Hanifah. Foto ini saya minta dari Alif. |
Setelah mangambil gambar Candi Brahu dari beberapa sudut,
saya pun berjalan menuju ke bis. Eh, di depan pintu masuk yang juga merupakan
pintu keluar candi, Dek Hanifah yang tadi
minta fotonya dimasukin ke koran mengucapkan permohonannya sekali lagi, seolah-olah saya ini jin di iklan Djarum 76. “Mbak, fotonya masukin koran, ya,”
katanya sambil menghentikan langkah saya. Karena anak ini sepertinya belum
mengerti yang saya ucapkan tadi, saya pun menjelaskan sesederhana mungkin. “Dek,
Mbak itu bukan jurnalis. Jadi, fotonya cuman bisa dicetak. Mbak ndak punya
kuasa untuk masukin sembarang foto ke koran. Kamu ngaji yang pinter aja, nanti
mungkin kamu bisa masuk koran,” kata saya. Saya nggak mungkin dong menjelaskan
ke anak itu syarat sebuah berita bisa lolos dari redaktur pelaksana. Bisa
panjang urusannya nanti. Di akhir pertemuan dengan bocah itu, saya menyalaminya
dengan salaman gaul seperti ke kawan-kawan saya. Tapi ya, karna Dek Hanifah itu
anak yang alim dan baik, tangan saya dicium sama dia, he he he. Berasa tua dan dihormati
deh. Aku jadi malu.
Tapi, dari perkaatan Hanifah tadi, saya jadi berpikir kalau
pemikiran mereka itu khas anak kecil sekali. Sederhana. Adik saya, Dina yang
kini berusia 10 tahun juga pernah bilang ke saya kalau, dia masuk televisi. Ketika
saya tanya kenapa, dia bilang, “Tadi direkam Mbak, coba kalau tivi kita itu
lengkap chanelnya, pasti Mbak bisa lihat aku.” Ketika saya tanya lebih lanjut, di stasiun televisi mana tepatnya gambar dia disiarkan, Dina malah jawab tidak
tahu. Haduh, adik saya ini. Jadi, sebenarnya dia itu direkam menggunakan kamera
video shooting, lalu mentang-mentang direkam menggunakan kamera video shooting
adik saya berpikir dia akan masuk televisi.
Yah, begitu juga mungkin
dengan pemikiran Hanifah beserta teman-temannya. Ketika dipotret, Andika, kawan
sekelas saya menggunakan kamera digital SLR. Mungkin, karena hal inilah mereka
berpikir kalau mereka bisa masuk koran. Atau spekulasi saya lainnya, karena
mereka berpikir kami mahasiswa, dan dari Jogja. Mereka berpikir kalau mahasiswa
punya kuasa. Kuasa apapun. Termasuk untuk memasukkan foto sejumlah anak dengan
beberapa mahasiswa ke koran.
Di sisi lain, saya jadi ingat kakak-kakak seperguruan saya
yang suka membicarakan tentang kaya dan terkenal. Di sini, Hanifah dan
kawan-kawannya ingin terkenal. Mereka ingin masuk koran. Ingin masuk media massa. Mungkin kenapa mereka tidak memilih untuk
kaya, karena mereka belum berpikir susahnya nyari uang. Dan hidup itu butuh
uang. Tapi itu cuman spekulasi saya sendiri. Jangan dipercaya.
Pengaharapan Hanifah kepada saya untuk memajang fotonya di koran
membuat saya merasa terpacu untuk terus berusaha. Berusaha menggapai cita-cita
saya menjadi juranalis tentunya. Supaya saya bisa membidik gambar-gambar unik
yang bisa dimasukkan ke rubrik potret atau foto pekan ini. Atau saya bisa
menuliskan cerita tentang Hanifah-Hanifah lain di luar sana.
Berhubung saya belum menjadi jurnalis seutuhnya, jadi saya
hanya bisa memasukkan foto Hanifah dan kawan-kawannya dalam blog saya. Sayangnya, saya nggak sempat foto sama Hanifah.
Oh,ya. Ketika menulis ini saya jadi ingat blog tetangga yang nulis tentang keinginan masuk media massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar