Minggu, 03 Juni 2012

Makanan jadi Barang Langka di Siang Ramadhan


Sebulan lagi ramadhan datang. Sudah mulai banyak iklan-iklan sirup yang menawarkan kesegarannya, bermunculan di televisi. Banyak juga acara pengajian yang digelar menjelang bulan ramadhan. Di radio, ceramah mengenai persiapan bulan ramadhan juga sering kali diperdengarkan.  Bulan ramadhan merupakan bulan yang dianggap suci oleh umat muslim dan tentunya bulan ini seringkali ditunggu-tunggu.
Sewaktu kecil, aku sangat senang ketika bulan ramadhan datang. Saat umurku delapan tahun, aku melewatkan bulan ramadhan di rumah nenek. Suasana sahur dan buka puasa di sana, sangat ramai dan riuh karena ada banyak sepupuku. Setelah buka puasa, nenek pasti mengajari kami untuk mengaji, kemudian berangkat sholat tarawih di masjid, dan kegiatan peribadatan lainnya. Inilah ramadhan yang paling kurindukan bersama nenek dan sepupu-sepupuku.
Dulu saat aku masih SMA, sebelum aku kuliah di jogja, aku melewatkan bulan ramadhan bersama ibu dan adik-adikku. Ibu tidak terlalu suka dengan kolak karena dia pasti akan sakit perut ketika makan santan, jadilah menu berbuka tidak pernah ada kolak. Adik-adikku yang tidak puasa tapi mengaku puasa, pasti ikut-ikutan berbuka puasa dan membuat segalanya ramai, entah dengan tangisan, atau berebut makanan.
Ramadhan berikutnya, aku baru merasakan ramadhan bersama seluruh keluargaku. Sebelumnya, aku tidak pernah melewatkan ramadhan bersama ayah, karena pekerjaan ayah sebagai field supervisor di Saudi Arabia Telcom atau Axis yang menjadi namanya di Indonesia, membuat ayah harus menetap di Jeddah.
Sejak ramadhan tahun lalu, aku melewatkan bulan ramadhan bertepatan dengan waktu Ospek, bersama kawan-kawanku yang indekos di tempat sempit dan gelap ini. Suasana akrab dan sederhana terasa ketika sahur dan buka puasa. Menjalankan ibadah puasa Ramadhan di tempat perantauan, tentu membuat aku dan kawan-kawanku harus mandiri dalam mengurusi segala keperluan. Kami tidak lagi bangun sahur dengan santai karna di sini tidak ada ibu yang mempersiapkan segalanya. Semua kami urus sendiri, seperti makanan untuk sahur dan berbuka. Kami selalu membeli makanan untuk sahur maupun berbuka bersama-sama karena tidak ada dapur di tempat yang mirip gua ini.
Untunglah, warung-warung penjual makanan di sekitar tempat indekost buka ketika waktu menjelang sahur dan berbuka, tapi di siang hari mereka tutup. Tentu mudah bagi kami memperoleh makanan yang menjadi kebutuhan primer kita sebagai manusia. Tapi, kami kesulitan ketika sedang tidak berpuasa. Seluruh warung-warung, penjual makanan, dan sebagainya yang sejenis dengannya, pasti menutup rapat pintu masuknya di siang hari. Ingin membeli mie instant pun tak ada kompor untuk memasaknya. Ini membuat kami kesulitan mencari penyuplai perut disaat kami tidak ikut berpuasa dan tentu kami tidak akan ikut makan sahur.
Nani Militia Christy adalah kawan SMAku yang kini kuliah di jurusan Psikologi Universitas Negeri Semarang. Dia beragama Kristen dan ayahnya adalah seorang pendeta. Walau kami berbeda keyakinan, kami menghargai satu sama lain. Nani tidak pernah makan terang-terangan di depanku ketika aku dan kawan-kawan sedang berpuasa. Aku juga seringkali mengucapakan selamat Natal atau Paskah.
Tahun lalu dia melewati bulan Ramadhan di tempat perantauannya di Semarang. Nani pernah bercerita padaku, mengenai pengalamannya ketika bulan Ramadhan di semarang. Dia sering kali kesulitan untuk mencari makan siang ketika bulan ramadhan. Bagaimana tidak, warung-warung makan tutup di siang hari.
Kebijakan menutup warung-warung di bulan puasa dari pagi hingga waktu menjelang berbuka puasa, membuat perempuan yang memiliki waktu istirahat puasa kesulitan mencari makanan. Perempuan muslim hanya selama satu minggu mengalami hal tersebut, lain halnya dengan kawan-kawan yang beragama non-muslim. Mereka akan kesulitan mencari makanan selama satu bulan. Jarang sekali terdapat dapur di tempat indekos, sehingga mereka harus membeli makanan di luar. Sedangkan, tempat yang menyediakan makanan ditutup dari pagi hingga sore.
Keputusan ini agaknya masih kurang memikirkan pihak selain umat muslim, dirasa masih islam sentries, dan tidak multidimensi, yang hanya ditilik dari kacamata orang muslim tanpa memikirkan kebutuhan orang-orang dari agama lain. Bukankah Indonesia mengakui enam agama yang boleh dianut, lalu ketika kebijakan menutup warung makan ini dilaksanakan, bukankah itu mengabaikan kebutuhan  pangan umat lain?
Tak hanya terkesan mengacuhkan kebutuhan umat lain, kebijakan menutup warung makan di siang hari tentu akan merugikan pemilik warung. Hak-hak pemilik warung untuk mengembangkan usahanya diabaikan. Ketika warungnya tidak tutup, tentu ada satu atau dua orang yang tidak berpuasa akan mampir ke warungnya sekedar memesan minuman atau lain hal. Kebijakan penutupan warung makan akan merugikan baik pemilik warung maupun konsumennya alih-alih menghormati umat muslim yang sedang berpuasa.
Ramadhan berikutnya, mungkin aku akan melewatinya bersama kawan-kawan EXPEDISI sambil mengurus buletin khusus Ospek. Mungkin ramadhan besok aku dan yang lainnya bisa lebih mudah mendapatkan makan siang disaat tidak berpuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar