Sebulan lagi ramadhan datang. Sudah mulai banyak iklan-iklan
sirup yang menawarkan kesegarannya, bermunculan di televisi. Banyak juga acara
pengajian yang digelar menjelang bulan ramadhan. Di radio, ceramah mengenai
persiapan bulan ramadhan juga sering kali diperdengarkan. Bulan ramadhan merupakan bulan yang dianggap
suci oleh umat muslim dan tentunya bulan ini seringkali ditunggu-tunggu.
Sewaktu kecil, aku sangat senang ketika bulan ramadhan
datang. Saat umurku delapan tahun, aku melewatkan bulan ramadhan di rumah
nenek. Suasana sahur dan buka puasa di sana, sangat ramai dan riuh karena ada
banyak sepupuku. Setelah buka puasa, nenek pasti mengajari kami untuk mengaji,
kemudian berangkat sholat tarawih di masjid, dan kegiatan peribadatan lainnya. Inilah
ramadhan yang paling kurindukan bersama nenek dan sepupu-sepupuku.
Dulu saat aku masih SMA, sebelum aku kuliah di jogja, aku
melewatkan bulan ramadhan bersama ibu dan adik-adikku. Ibu tidak terlalu suka
dengan kolak karena dia pasti akan sakit perut ketika makan santan, jadilah
menu berbuka tidak pernah ada kolak. Adik-adikku yang tidak puasa tapi mengaku
puasa, pasti ikut-ikutan berbuka puasa dan membuat segalanya ramai, entah
dengan tangisan, atau berebut makanan.
Ramadhan berikutnya, aku baru merasakan ramadhan bersama
seluruh keluargaku. Sebelumnya, aku tidak pernah melewatkan ramadhan bersama
ayah, karena pekerjaan ayah sebagai field supervisor di Saudi Arabia Telcom
atau Axis yang menjadi namanya di Indonesia, membuat ayah harus menetap di
Jeddah.
Sejak ramadhan tahun lalu, aku melewatkan bulan ramadhan bertepatan
dengan waktu Ospek, bersama kawan-kawanku yang indekos di tempat sempit dan
gelap ini. Suasana akrab dan sederhana terasa ketika sahur dan buka puasa. Menjalankan
ibadah puasa Ramadhan di tempat perantauan, tentu membuat aku dan kawan-kawanku
harus mandiri dalam mengurusi segala keperluan. Kami tidak lagi bangun sahur
dengan santai karna di sini tidak ada ibu yang mempersiapkan segalanya. Semua
kami urus sendiri, seperti makanan untuk sahur dan berbuka. Kami selalu membeli
makanan untuk sahur maupun berbuka bersama-sama karena tidak ada dapur di
tempat yang mirip gua ini.
Untunglah, warung-warung penjual makanan di sekitar tempat
indekost buka ketika waktu menjelang sahur dan berbuka, tapi di siang hari mereka
tutup. Tentu mudah bagi kami memperoleh makanan yang menjadi kebutuhan primer
kita sebagai manusia. Tapi, kami kesulitan ketika sedang tidak berpuasa.
Seluruh warung-warung, penjual makanan, dan sebagainya yang sejenis dengannya,
pasti menutup rapat pintu masuknya di siang hari. Ingin membeli mie instant pun
tak ada kompor untuk memasaknya. Ini membuat kami kesulitan mencari penyuplai
perut disaat kami tidak ikut berpuasa dan tentu kami tidak akan ikut makan
sahur.
Nani Militia Christy adalah kawan SMAku yang kini kuliah di jurusan
Psikologi Universitas Negeri Semarang. Dia beragama Kristen dan ayahnya adalah
seorang pendeta. Walau kami berbeda keyakinan, kami menghargai satu sama lain. Nani
tidak pernah makan terang-terangan di depanku ketika aku dan kawan-kawan sedang
berpuasa. Aku juga seringkali mengucapakan selamat Natal atau Paskah.
Tahun lalu dia melewati bulan Ramadhan di tempat
perantauannya di Semarang. Nani pernah bercerita padaku, mengenai pengalamannya
ketika bulan Ramadhan di semarang. Dia sering kali kesulitan untuk mencari
makan siang ketika bulan ramadhan. Bagaimana tidak, warung-warung makan tutup
di siang hari.
Kebijakan menutup warung-warung di bulan puasa dari pagi
hingga waktu menjelang berbuka puasa, membuat perempuan yang memiliki waktu
istirahat puasa kesulitan mencari makanan. Perempuan muslim hanya selama satu
minggu mengalami hal tersebut, lain halnya dengan kawan-kawan yang beragama
non-muslim. Mereka akan kesulitan mencari makanan selama satu bulan. Jarang
sekali terdapat dapur di tempat indekos, sehingga mereka harus membeli makanan
di luar. Sedangkan, tempat yang menyediakan makanan ditutup dari pagi hingga
sore.
Keputusan ini agaknya masih kurang memikirkan pihak selain
umat muslim, dirasa masih islam sentries, dan tidak multidimensi, yang hanya
ditilik dari kacamata orang muslim tanpa memikirkan kebutuhan orang-orang dari
agama lain. Bukankah Indonesia mengakui enam agama yang boleh dianut, lalu
ketika kebijakan menutup warung makan ini dilaksanakan, bukankah itu
mengabaikan kebutuhan pangan umat lain?
Tak hanya terkesan mengacuhkan kebutuhan umat lain, kebijakan
menutup warung makan di siang hari tentu akan merugikan pemilik warung. Hak-hak
pemilik warung untuk mengembangkan usahanya diabaikan. Ketika warungnya tidak
tutup, tentu ada satu atau dua orang yang tidak berpuasa akan mampir ke
warungnya sekedar memesan minuman atau lain hal. Kebijakan penutupan warung
makan akan merugikan baik pemilik warung maupun konsumennya alih-alih
menghormati umat muslim yang sedang berpuasa.
Ramadhan berikutnya, mungkin aku akan melewatinya bersama
kawan-kawan EXPEDISI sambil mengurus buletin khusus Ospek. Mungkin ramadhan
besok aku dan yang lainnya bisa lebih mudah mendapatkan makan siang disaat
tidak berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar